Sejarah Desa Maliwuko

Bermula dari tahun 1906 Kampung Maliwuko hanya didiami oleh beberapa orang atau suku pendatang yang datang dari berbagai tempat antara lain dari : Lage, Marari, Pajangko, dan Kandundu. Orang-orang pertama yang datang pada waktu itu antara lain adalah Ngkai Tawalijompo, Ngkai Tebatengkilo, Ngkai Gimbaro, Ngkai Amu, Tu’a Noma, Tu’a Yoni kemudian lama kelamaan disusul oleh beberapa Kepala Keluarga, mereka mendiami kampung yang terletak diseberang sungai Maliwuko yang saat ini dikenal dengan KM (kilometer) 6 atau disekitar tempat berdirinya Batalyon 714 Sintuwu Maroso saat ini.

Dalam perkembangan penduduk dari waktu ke waktu semakin bertambah sehingga pada waktu itu setiap bangunan rumah tinggal harus didiami beberapa Kepala Keluarga. Letak dapur dibuat ditengah-tengah bangunan, budaya makan dalam setiap rumah yang terdiri dari beberapa Kepala Keluarga adalah makan bersama yang disebut dengan Pangisa (piring kecil dan alat minum terbuat dari tempurung kelapa yang disebut dengan Nggoni). Kesenian daerah adalah Moende, Moraego, dan Mowurake.

Kepala Kampung waktu itu adalah Ngkai Tebatengkilo (Kepala Kampung Pertama), dan Kampung waktu itu diberi nama Kampung Maliwuko dengan alasan bahwa ada sungai kecil yang melintasi tempat pemukiman itu yang airnya tidak pernah jernih (kabur/keruh), apalagi pada saat musim penghujan sehingga tempat itu diberilah nama Maliwuko yang artinya kabur/keruh.

Sekitar tahun 1922 Kampung Maliwuko diserang wabah penyakit menular (kemungkinan besar adalah penyakit kolera), disebut waktu itu Ju’a Lele artinya penyakit menular yang mengakibatkan banyak orang meninggal. Menurut cerita Orang Tua bahwa sekembalinya masyarakat dari menguburkan orang yang meninggal maka spontan salah satu dari orang itu ada yang meninggal, dalam arti bahwa hampir setiap hari ada orang yang meninggal. Maka tokoh-tokoh masyarakat waktu itu dibawah kemimpinan Kepala Kampung (Ngkai Tebatengkilo) membuat Gombo (rapat) dan menurut beberapa Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat waktu itu, mereka harus berpindah (migrasi) melintasi sungai agar terhindar dari penyakit menular/ju’a lele tersebut. Maka pada tahun 1923 masyarakat menyeberang sungai, ada sebagian masyarakat yang menyeberang sungai, ada sebagian masyarakat yang menyeberang sungai Maliwuko yang tinggal sampai dengan saat ini dan ada juga yang pindah menyeberang sungai Poso dan tinggal disebelah utara Maliwuko yaitu kaumbu-umbu, saat ini masuk kelurahan Kawua dan lainnya pindah ke Kampung Silanca dan kampung Tagolu. Yang bertahan untuk tinggal di Maliwuko ada kurang lebih 10 Kepala Keluarga dibawah Kepemimpinan Ngkai Tebatengkilo. Awalnya Kampung Maliwuko, Ranononcu dan Tagolu hanya mempunyai satu Kepala Kampung yaitu Kepala Kampung Maliwuko.

Peribadatan waktu itu sebelum tahun 1923 yaitu Molamoa atau yang disebut waktu itu Moagama Bangke itu dilaksanakan pada hari Sabtu (masuk wilayah penginjilan). Namun sesudah tahun 1923 oleh Pemerintah Hindia Belanda bersama dengan Zending mendirikan Rumah Sekolah di Maliwuko (SR) dan Rumah Sekolah itu juga dijadikan sebagai tempat untuk Beribadah pada hari Minggu. Pelaksanaan ibadah minggu pada waktu itu masih digabung antara Kampung Maliwuko, Ranononcu dan Kampung Tagolu di Silora yang saat ini telah menjadi Tanah Milik Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Tengah. Maka masyarakat waktu itu mulai beribadah secara Kristen yang pelaksanaan ibadahnya di Sekolah SR yang didirikan oleh Zending di tanah pertanian saat ini. Guru/Kepala Sekolah waktu itu juga menjabat sebagai Gembala atau disebut Guru Jumat.

Oleh karena perkembangan masyarakat dan perluasan wilayah maka pada tahun 1950 Pemerintahan Maliwuko dipisahkan Kampung Ranononcu dan Kampung Tagolu telah berdiri sendiri, Kampung Ranononcu telah mempunyai Kepala Kampung sendiri dan demikian juga dengan Kampung Tagolu, dan pada tahun itu juga kampung Maliwuko oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Poso, berubah Nama menjadi Desa Maliwuko, sampai dengan saat ini.